Jumat, 24 Desember 2010

Islam dan Komunitas Arab di Indonesia

penulis : Cecep Sopandi, mahasiswa jurusan Sosiologi

Penduduk Indonesia pada awal sejarahnya dikenal sebagai pelayar-pelayar yang handal dan tangguh. Indonesia juga merupakan wilayah yang cukup strategis dan kaya dengan sumber daya alamnya, terutama di wilayah barat nusantara dan sekitar malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,  kenyataan itu menjadi titik tolak tersendiri bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.

Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India mulai datang dan berdagang di kepulauan Indonesia sejak abad ke 7 masehi (abad 1 H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah[1]. Dengan datangnya komunitas arab di Indonesia selain motivasi perdagangan juga berimplikasi terhadap perkembangan budaya dan agama. Hal itu dapat dilihat dari Islamisasi dan asimilasi budaya komunitas arab terhadap penduduk lokal  sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Kenyataannya kini tradisi Arab menjadi milik mayoritas penduduk Indonesia.

Dalam perjalannya perkembangan tradisi Arab di Indonesia mempunyai dinamikanya tersendiri. Dalam priode awal, ia mengalami perbenturan dengan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya Kejawen. Salah satu strategi yang digunakan saat itu adalah sinkretisme yang menjadi jalan tengah dalam perbenturan ini yang melahirkan Islam-Kejawen atau Islam Abangan. Dalam priode berikutnya, tradisi Arab berhadapan dengan kaum penjajah khususnya Belanda yang membawa ajaran Kristen. Dalam hal yang paling prinsipil, yakni dalam dimensi ajaran, hampir tak pernah ada titik temu antara dua kebudayaan ini kecuali orang-orang Islam Indonesia menerima sistem sekolah yang ditawarkan Belanda. Selain itu, dalam upaya mencapai eksistensi teologisnya yaitu menjadikan Islam sebagai landasan ideal pembentukan idiologi Negara, tradisi arab terbentur dengan konsep Nasionalisme, dalam kasus tersebut banyak kalangan Islam menerapkan respon ganda dalam menghadapi kolonialisme.

Dalam perjalannya penyebaran Islam hingga ke Asia terutama sampai ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perjalanan masuknya Islam di Cina dan India. Sehingga dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut merupakan dampak dari pergolakan politik yang terjadi di Abad pertengahan.

Masuknya Islam ke Cina jika dilihat dari bukti – bukti sejarah secara resmi dimulai sejak Khalifah Usman Bin Affan. Karena daerah Cina dipandang sebagai wilayah yang berperadaban lebih maju pada saat itu. Sebenarnya sebelum itu, sudah banyak pedagang – pedagang Arab yang berkunjung ke Cina, melakukan kegiatan perdagangan, mereka yang melakukannya melalui jalur darat disebut dengan Jalur Sutra. Hal itu berlangsung sejak zaman Dinasti Tang dan mencapai puncak kejayaan pada zaman Dinasti Ming. 

Melihat konteks tersebut Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa pengembara, dimana kebiasaan atau budaya mereka yang selalu berusaha menemukan dunia – dunia baru dalam rangka berdagang. Dengan semangat dan kerja keras Bangsa Arab, akhirnya mereka mampu menancapkan eksistensinya diberbagai belahan dunia.

Menurut Talcott parson sebuah tindakan dan interaksi sosial dipengaruhi oleh dua orientasi, pertama, orientasi motivasional, yaitu orientasi bersifat pribadi yang menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,  kedua, tindakan yang berorientasi nilai, yaitu orientasi yang menunjuk pada standar normatif, seperti wujud agama, dan nilai-nilai kepercayaan[2].

Pada dasarnya perluasan wilayah yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin adalah dalam rangka menyebarkan nilai – nilai Islam yang telah digariskan sebagaimana mestinya oleh Nabi Muhamad SAW dan merupakan sebuah keharusan bahwa hal tersebut sampai kepada bangsa –bangsa lainnya yang belum mengenal kebudayaan Islam.

Akan tetapi pola perluasan wilayah setelah Khulafaur Rasyidin mengalami pergeseran paradigma, dari gerakan moral menuju politik. Hal itu terjadi pada saat Dinasti Muawiyah. Dalam melakukan perluasan wilayah yang dilakukan oleh Muawiyah dan para penerusnya sangat kental dengan pola – pola militerisitik yang cenderung menjadikan wilyah yang dikuasainya sebagai daerah atau koloni impereriumnya. Hal ini jauh sekali dari doktrin awal bahwa penguasaan suatu daerah hanya merupakan sebuah alat untuk dapat menyebarkan nilai – nilai Islam[3].

Istilah Islam kadang suka disamakan dengan Arab, karena Keberadaannya telah menyatu dengan kebudayaan Indonesia. Diyakini, sejarah masuknya Bangsa arab ke Indonesia mulai pada abad 7 Masehi bersamaan dengan mulai menyebarnya agama Islam ke Nusantara. Sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.  

Jika dilihat pada proses masuknya Islam ke Indonesia, pada saat itu nuansa Budha / Hindu masih sangat kental sehingga banyak dipengaruhi oleh kebiasaan seperti 40 harian atau Syuroan, tradisi tahlilan, menghormati karuhun atau suatu tradisi yang menyembah ala dinamisme / animisme. Tumbukan kebudayaan tersebut memperlihatkan Islam tidak selalu identik dengan Arab tetapi proses adaptasi yang bergantung dengan budaya setempat yang menentukan corak kebudayaan yang berkembang di daerah tersebut.

Kehadiran komunitas arab tentu saja mengundang banyak reaksi dan pertentangan, terutama kalangan lokal yang berhaluan tradisional, untuk itu memungkinkan terjadinya asimilasi budaya dan pertukaran sosial (social ekchange) anatar individu dan masyasarakat. Pertukaran-pertukaran sosial tersebut menciptakan sebuah konsepsi baru tentang kebudayaan dengan beragam ciri dan bentuknya, yaitu kebudayaan dengan keanekaragaman sosial dan cara pandang yang cukup terbuka sehingga mencapai satu konsensus nilai bersama (Valeu Pluralisme).

Dari pertalian antar simpul kebudayaan diatas atara kalangan tradisional dan komunitas arab menjadikan sebuah keniscayaan akan adanya perubahan sosial, ditambah dengan arus modernisasi yang dalam prakteknya senantiasa menggerus budaya-budaya tradisonal dan adat sehingga menimbulkan sebuah cara pandang baru, baik dari aspek prilaku, tatanan sosial, maupun struktur yang ada di masyarakat.

Konsekuensi dari modernisasi adalah adanya perubahan, dimulai dari perubahan cara hidup (way of life) maupun keberagamaan (religiusitas). Aspek keberagamaan (religiusitas) yang dimaksud adalah tata cara ritual dan pola-pola interaksi masyarakat dalam kehidupan beragama. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya budaya-budaya sufisme yang dibungkus dengan kemasan modern yang afirmative dengan teknologi, seperti ESQ, tumbuhnya gerakan-gerakan keagamaan baru seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dikir, bahkan gerakan ekstrimis Islam yang diwakili oleh kaum fanatik Islam sebagai efek penolakan terhadap modernisasi.

Dalam sejarah Indonesia tercatat beberapa pengaruh tradisi arab dalam kehidupan masyarakat. Dimana terjadi kontak pemikiran antara kaum tradisional dan modern, sehingga memunculkan dua spektrum arah pemikiran Islam yang secara praksis berkaitan dengan pembentukkan landasan idiologi negara. Pertama : dengan mengidealisir Islam sebagai satu-satunya sistem sosial yang mampu memelihara demokrasi sejati, kesetiaan pada hukum dan keadilan ekonomi. Titik klimaks dari pandangan ini adalah terciptanya konsep ”masyarakat Islam”  di Indonesia melalui proses Islamisasi dalam seluruh kehidupan (Way of Life). Pandangan kedua : Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan Bangsa, akan tetapi peranan yang harus dimainkan Islam bukan diambil dari idealisasi Islam sebagai satu-satunya altrnatif bagi situasi yang ada, melainkan lebih dari sebagai dasar inspirasi bagi suatu kerangka nasional suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, Islam bukanlah suatu alternatif bagi sistem sosial, melainkan aktor pelengkap diantara jajaran yang luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan Bangsa[4].

Dari kedua pandangan tersebut tentu saja menuai reaksi dan perdebatan yang panjang, tidak hanya sebagai respon atas konsekuensi negara memberlakukan pancasila sebagai sebuah idiologi negara, terlebih mengarah kepada pertarungan idiologi internal  Islam. Kedua pandangan tersebut mempunyai implikasinya sendiri terhadap masa depan dan jadi perdebatan sepanjang sejarah bangsa kedepan, antara Idealisasi Islam sebagai sistem sosial dan Islam sebagai faktor pelengkap.

Kegagalan umat Islam dalam kancah politik berakibat adanya konsekuensi perkembangan politik yang pada saat ini yang telah mematikan aspirasi untuk formalisasi Islam dalam kehidupan negara[5]. Melihat berbagai pertentangan pandangan tersebut, Natsir memberikan pandangan yang cukup moderat, bahwa bagi kaum Muslimin, urusan Agama itu bukan ibarat satu baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamamana suka, akan tetapi menjadi urusan prive semata-mata, melainkan juga masalah kemasyarakatan, bahkan masalah kenegaraan[6].  Pandangan tersebut bertitik tolak pada landasan Al-Qur’an ( Adz-Dzariyaat ; 56) “ Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku “.

 Reaksi atas permasalahan bangsa dan agama sebagai respon atas kehadiran modernisasi dalam Islam, orang-orang arab yang masih memegang pemahaman Islam klasik membuat berbagai komunitas, dengan sebuah kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai dan norma yang masih diyakini. Komunitas Arab tersebut seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dzikir dan lain sebagainya.

Kelompok-kelompok yang muncul dari kalangan Arab ini menurut pespektif W.G Summer sebagai In Group yang merupakan artikulasi dari perasaan ”kami yang di dalam” dan secara tegas membedakan ”mereka yang di luar”. Artinya konsep Summer ini membedakan unsur linkage kelompok secara tajam. Atas dasar penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa in group adalah kelompok sosial yang masing-masing anggotanya mengidentifikasi dirinya sebagai suatu kelompok sampai mereka ”merasa satu diri”. Untuk mencapai konsensus atau penyatuan diri, kelompok tersebut ditandai oleh cohesiviness, conformity, and sentimnt yang tinggi sekali. Konsep tersebut identik dengan  primay group dari Cooley,gameinschaft dari tonnies, solidaritas mekanik dari Durkheim dan pola hubungan familistik dari sorokin[7].

Dalam kondisi tersebut fenomena keberagamaan (religiusitas) mengalami perubahan. Terjadinya sentralisasi kuasa atas kebenaran, ikatan-ikatan yang bersumber atas egosentrisme dan meminjam bahasa pancha sebagai fenomena Islam sebagai Trend, yang melihat wajah Islam kepada figur dan sosok kharismatik.

referensi :
[1] Dr.Badri Yatim (2000), Sejarah Peradaban Islam. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.
[2] Dr. Yusron Razak MA (2008), Sosiologi sebuah pengantar ; Tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam. LSA, Jakarta.  
[3] Artikel M. Chaidir, Arab di Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat. www.selamatkanindonesia.net
[4] Artikel KH.Abdurrahman Wahid, Kelas Menengah dalam Islam di Indonesia
[5] Latif, Yudi. (2005) Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Mizan, Bandung.
[6] M. Natsir (2001), Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Media Da’wah. Jakarta.
[7] Asrid S. Susanto (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar