Sabtu, 22 Januari 2011

TEMA UNTUK DEBAT


Untuk SMA ;
# THBT Indonesia is a bad place for survive
# THBT School uniform should abrogate
# THBT Blackberry shall be banned in Indonesia
# THBT Guns should not be illegal
# THBT Death penalty should be legalized
# THBT Indonesia should localize prostitution
# THBT Internet is beneficial

Untuk Mahasiswa ;
# THBT That politic is more important than economy
# THBT We should support the bill on the special status of Yogyakarta
# THBT League Premier Indonesia (LPI) is better than Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI)
# THBT Wikileaks is a great way to expose corrupt
# THBT Indonesia shouldn’t have a lot of naturalization football player
# THBT Selling on eBay is a great way to make extra money
# THBT Islamic law in Indonesia should adhere
# THBT Democracy form of goverment
# THBT Living without facebook is amish
# THBT Atheist for human rights
# THBT University should give tuition assistance
# THBT Kissing in public area is legal
# THBT Neoliberalism as an ideology for how to best structure economies is explained
# THBT The goverment of Indonesia shall provide adeguate and suitable housing
# THBT Indonesia need more artists in politics

Selasa, 18 Januari 2011

English Festival

BEM Fisip mengadakan berbagai macam lomba, diantaranya :

  • debate contest
  • news reading
  • drawing comic
lomba-lomba tersebut akan diadakan pada tanggal 24-29 Januari 2011 di Student Center kampus 1 UIN Jakarta. total hadiah yang akan diperebutkan yakni mencapai 8 JUTA RUPIAH.
lomba ini terbuka untuk seluruh mahasiswa UIN Jakarta dan berbagai SMA di daerah Tangerang.

bagi teman-teman yang ingin mendaftar, silahkan datangi stand english festival di FISIP Kampus 2 UIN Jakarta. untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi :
Eki (08567666588 atau 02193339841)
Dida (085645722034 atau 02194573361)



**biaya pendaftaran debate yakni Rp 100.000,- sedangkan untuk news reading dan drawing comic sebesar Rp 30.000,- masing-masingnya.
pendaftaran akan ditutup pada tanggal 21 Januari 2011 dan technikal meeting akan diadakan pada tanggal 22 Januari 2011

Jumat, 24 Desember 2010

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa?

Penulis : Arlian Buana Chrissandi, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional

Gerakan mahasiswa di Indonesia diakui banyak pihak memiliki kekuatan yang hebat dalam menentukan arah bangsa. Namun dewasa ini, banyak pihak yang menilai gerakan mahasiswa tidak lagi murni berangkat dari idealisme. Gerakan mahasiswa sering ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.


Tidak diragukan lagi kontribusi pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula sumbangsih mereka dalam mengawal pelaksanaan pemerintahan. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar yang mendemonstrasikan heroisme pemuda. Sampai-sampai seorang Indonesianis, Ben Anderson, berani mengatakan “sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya”.


Gerakan Mahasiswa dalam Berita 

Dalam beberapa minggu terakhir, epik cicak vs buaya menjadi isu yang paling mendominasi pemberitaan media massa. Kemudian dilanjutkan dengancenturygate . Dan hampir setiap hari, media memberitakan beragam aksi massa dari berbagai organisasi kemahasiswaan.



Sekilas kita akan mendapatkan gambaran tentang Bung Karno dan Bung Hatta muda dalam barisan aksi mendukung KPK. Kita percaya bahwa para mahasiswa tersebut terpanggil hati nuraninya untuk membela dan menegakkan keadilan di negeri ini. Kita yakin mereka sudah sangat muak dengan mafia peradilan dan tindak korupsi. Tapi apa lacur, di lapangan ditemukan fakta bahwa mereka rela berpanas-panas berdemonstrasi bukan karena cita-cita mulia pengentasan korupsi. Melainkan karena uang yang dijanjikan dan dikantongi, yang padahal jumlahnya tidak seberapa.


Tentu tidak semua mahasiswa berdemonstrasi karena uang. Masih ada titisan Soe Hok Gie yang terselip di barisan. Namun secara umum, kita dapat melihat perilakunya dari organisasi kemahasiswaan yang ada. Hampir setiap organisasi kemahasiswaan yang besar, memiliki senior di pemerintahan dan lembaga perwakilan. Uang dan kepentingan para senior inilah yang seringkali harus mencederai idealisme.


Reaksioner dan Visioner

Dekadensi Gerakan mahasiswa yang ditumpangi kepentingan ini, diantaranya karena mahasiswa dewasa ini cenderung reaksioner. Mahasiswa yang memegang teguh idealisme pun seringkali harus jatuh reaktif, jatuh pada lubang horizon jangka pendek.



Misalnya dalam kasus cicak vs buaya, mahasiswa lebih sering menuntut dibebaskannya Bibit-Chandra daripada mendesak reformasi sistem peradilan di Indonesia. Padahal visi besarnya adalah pembenahan sistem peradilan yang tidak boleh lagi melukai rasa keadilan rakyat. Dan dalam banyak kasus, respons yang dilemparkan gerakan mahasiswa lebih banyak respons reaktif. Sehingga lebih banyak gagal secara substansi. Contohnya ketika kenaikan harga BBM.


Padahal gerakan pemuda dan mahasiswa pada zaman perjuangan menuju kemerdekaan dapat dijadikan cerminan. Kita dapat menapaktilasi bagaimana luar biasa visionernya pemuda bernama Soekarno, Hatta beserta kawan-kawan seperjuangannya. Gerakan pada masa itu bukan hanya reaksi atas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tapi juga disertai sebuah visi besar bernama Indonesia. Sehingga respons mereka terhadap kejadian-kejadian penting pada masa itu adalah respons kreatif. Seperti kompromi-kompromi dengan tentara Jepang untuk hal-hal yang jauh lebih besar, yaitu kemerdekaan.


Tantangan Zaman 

Lain daripada itu, organisasi kemahasiswaan di Indonesia dihadapkan dengan tantangan zaman yang semakin mengglobal. Salah satu ciri dari zaman yang akan datang adalah tuntutan terhadap seseorang atau kelompok untuk memiliki identitas dan spesialisasi peran (Alexander Wendt: 1999). 



Meskipun belum terang benar distingsinya, organisasi kemahasiswaan di Indonesia memiliki identitas yang cukup jelas. Namun sayangnya, organisasi-organisasi tersebut belum memiliki spesialisasi peran. Padahal ke depan, Organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan lain-lain harus memiliki peran dan peranan khusus jika tetap ingin unjuk gigi.


Secara kasat mata, kita dapat melihat gejala zaman ini dari kecenderungan organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) yang lebih banyak bermain segmentasi isu agar memiliki peran spesial. Misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang concern pada isu korupsi, atau WALHI dan Greenpeace yang bicara mengenai isu-isu lingkungan hidup. Kita tentu boleh bertanya; Apakah organisasi macam HMI memiliki data-data valid yang lengkap mengenai korupsi di Indonesia? Jawabannya pasti tidak dan kita akan segera merujuk pada ICW.


Respons kreatif dan respons reaktif memang beda-beda tipis. Dan kecenderungan gerakan mahasiswa dewasa ini yang lebih reaktif nampaknya disebabkan oleh penguasaan terhadap masalah yang setengah-setengah. Sehingga menghambat gerakan-gerakan tersebut untuk memiliki visi besar tentang bangsa ini. Karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan, gerakan-gerakan mahasiswa berpotensi untuk disulut dan kendalikan kepentingan kelompok tertentu.


PMII, HMI, IMM dan organisasi-organisasi lain tentu tak ingin punah tergerus zaman. Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut harus pandai-pandai menjawab tantangan zaman. Sementara, mengubah organisasi-organisasi kemahasiswaan menjadi LSM yang bergerak dalam satu isu (bidang) pun rasanya tidak mungkin. Maka tawaran terbaiknya adalah, organisasi-organisasi mahasiswa harus mampu mendidik kader-kadernya agar memiliki spesialisasi, expert dan tersebar di berbagai bidang. 


Dengan banyak kader yang memiliki pengetahuan dan kemampuan khusus yang lengkap, gerakan mahasiswa akan jauh lebih baik dan memiliki visi besar untuk membangun bangsa ini. Dan semoga tidak lagi jatuh pragmatis dan reaktif.

Demokrasi, Toleransi dan Pelarangan Buku


Penulis : Arlian Buana Chrissandi, mahasiswa Hubungan Internasional


30 Desember 2009, Pukul 19.00 WIB mendadak beberapa stasiun tv menayangkan breaking news wafatnya Gus Dur. Seketika Indonesia berkabung. Berduka karena kehilangan salah satu putera terbaik bangsa. Sejenak kita dan media massa lupa tentang mobil baru para menteri, Pansus Century, dan Gurita Cikeas. Sejenak kita tinggalkan persiapan pesta tahun baru.

Sekelumit tentang Gus Dur
Kita semua tidak punya hak prerogatif untuk meragukan peran dan peranan besar Gus Dur bagi bangsa ini. Gus Dur memang sosok negarawan yang unik sehingga sering disalahpahami. Beliau sering dianggap kontroversial, sering dicap konsisten dalam inkonsistensi.

Gus Dur selalu maju dan baru. Sementara sesuatu yang baru selalu kontroversial. Ada kecenderungan alamiah manusia untuk mempertahankan status quo, kemapanan. Sementara keadaan dan peradaban selalu menghendaki perubahan. Pikiran dan tindakan Gus Dur seringkali melampaui banyak orang, sehingga kerapkali sulit diterima.

Diantara sifat Gus Dur yang paling menonjol adalah ketidaktakutannya akan perbedaan. Sehingga memungkinkan beliau menjadi pejuang demokrasi, penganjur perdamaian dan pahlawan pluralisme (Tajuk Rencana Kompas, 31/12/09). Gus Dur adalah tokoh dengan toleransi tinggi, yang meyakini bahwa perbedaan adalah rahmat.

Penghormatan terhadap Gus Dur seharusnya tidak berhenti pada upacara kenegaraan mengantar keberpulangan beliau ke rahmatullah. Bahkan pemberian gelar pahlawan nasional pun tidak akan berarti sama-sekali, jika bangsa ini tidak menghargai warisan gagasan dan pemikirannya.

Warisan Gus Dur dan pelarangan buku
Pagi hari, sebelum Gus Dur mendahului kita, media elektronik sedang meributkan buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro. Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM mengisyaratkan pelarangan buku tersebut dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun tv. Tak lama kemudian, terjadi insiden pengibasan buku oleh George, yang mengenai dahi kiri Ramadhan Pohan pada saat launching dan diskusi buku tersebut.

George sendiri adalah pengagum Gus Dur, setidaknya terlihat dari kutipan kata-kata Gus Dur pada cover bukunya. Begitu pula Patrialis, ia sendiri yang mengungkapkan kecintaannya kepada Gus Dur di hadapan para wartawan ketika tergopoh-gopoh masuk RSCM, beberapa saat setelah Gus Dur seda.

Akan tetapi, kegaguman tampaknya tinggal kekaguman. George alfa bahwa semua orang memiliki hak bicara dan musti dihormati. Sehingga lebih memilih mendahulukan akumulasi kekesalannya, daripada meneladani Gus Dur yang toleran dan menganggap ringan omongan orang.

Sementara, isyarat Patrialis dan –karena kegerahan- pemerintah untuk mengumumkan pelarangan peredaran buku George, jelas merupakan indikasi yang akan merendahkan warisan pemikiran Gus Dur. Melukai demokrasi, menodai penghormatan terhadap perbedaan.

Perbedaan pendapat dan pandangan mutlak terjadi di negara yang pluralistik. Demokrasi membuka ruang yang luas untuk perbedaan pendapat. Gus Dur telah meletakkan dasar-dasar toleransi di republik ini. Beliau telah membukakan jalan bagi perayaan perbedaan (pendapat). Akankah bangsa ini melupakannya begitu saja, segera setelah beliau wafat?

Pelarangan peredaran sebuah buku hanya akan mengulang lembaran sejarah lama, ketika republik ini dikuasai rezim otoriter. Sekaligus merupakan pembodohan sistematis yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Padahal negara, -melalui konstitusi- mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang rajin membaca. Dalam hal animo membaca masyarakatnya, Jepang merupakan negara yang menduduki peringkat teratas. Karena dibukakan kesempatan membaca seluas-luasnya. Jepang terbuka bagi semua buku di dunia ini. Bahkan buku yang dilarang di negara asalnya, dapat ditemukan copy-nya di Jepang berikut terjemahannya. Tidak tertutup kemungkinan, buku Membongkar Gurita Cikeas akan segera beredar disana.

Sekeras apapun usaha pemerintah untuk membungkam nada-nada sumbang yang menggerahkan, sejarah dan kemanusiaan akan tetap bergeming. Usaha untuk mengatasi perbedaan dengan pelarangan, hanya akan melahirkan perlawanan baru.

Sepanjang hayatnya, Gus Dur telah berjuang membela kaum minoritas dan tertindas di republik ini. Agar bangsa ini membuka mata dan telinga terhadap eksistensi dan suara mereka yang terpinggirkan. Gus Dur telah menunaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh etnis Tionghoa dan eks-PKI beserta keluarga.

Gus Dur telah memperjuangkan gagasan-gagasannya tidak hanya dengan perumusan secara konseptual. Melainkan juga dengan tindakan-tindakan yang mengambil berbagai risiko politik. Bahkan tidak jarang dengan pengorbanan.

Semoga George, Patrialis dan kita semua mampu menghormati Gus Dur dengan meneruskan perjuangannya.

Islam dan Komunitas Arab di Indonesia

penulis : Cecep Sopandi, mahasiswa jurusan Sosiologi

Penduduk Indonesia pada awal sejarahnya dikenal sebagai pelayar-pelayar yang handal dan tangguh. Indonesia juga merupakan wilayah yang cukup strategis dan kaya dengan sumber daya alamnya, terutama di wilayah barat nusantara dan sekitar malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,  kenyataan itu menjadi titik tolak tersendiri bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.

Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India mulai datang dan berdagang di kepulauan Indonesia sejak abad ke 7 masehi (abad 1 H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah[1]. Dengan datangnya komunitas arab di Indonesia selain motivasi perdagangan juga berimplikasi terhadap perkembangan budaya dan agama. Hal itu dapat dilihat dari Islamisasi dan asimilasi budaya komunitas arab terhadap penduduk lokal  sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Kenyataannya kini tradisi Arab menjadi milik mayoritas penduduk Indonesia.

Dalam perjalannya perkembangan tradisi Arab di Indonesia mempunyai dinamikanya tersendiri. Dalam priode awal, ia mengalami perbenturan dengan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya Kejawen. Salah satu strategi yang digunakan saat itu adalah sinkretisme yang menjadi jalan tengah dalam perbenturan ini yang melahirkan Islam-Kejawen atau Islam Abangan. Dalam priode berikutnya, tradisi Arab berhadapan dengan kaum penjajah khususnya Belanda yang membawa ajaran Kristen. Dalam hal yang paling prinsipil, yakni dalam dimensi ajaran, hampir tak pernah ada titik temu antara dua kebudayaan ini kecuali orang-orang Islam Indonesia menerima sistem sekolah yang ditawarkan Belanda. Selain itu, dalam upaya mencapai eksistensi teologisnya yaitu menjadikan Islam sebagai landasan ideal pembentukan idiologi Negara, tradisi arab terbentur dengan konsep Nasionalisme, dalam kasus tersebut banyak kalangan Islam menerapkan respon ganda dalam menghadapi kolonialisme.

Dalam perjalannya penyebaran Islam hingga ke Asia terutama sampai ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perjalanan masuknya Islam di Cina dan India. Sehingga dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut merupakan dampak dari pergolakan politik yang terjadi di Abad pertengahan.

Masuknya Islam ke Cina jika dilihat dari bukti – bukti sejarah secara resmi dimulai sejak Khalifah Usman Bin Affan. Karena daerah Cina dipandang sebagai wilayah yang berperadaban lebih maju pada saat itu. Sebenarnya sebelum itu, sudah banyak pedagang – pedagang Arab yang berkunjung ke Cina, melakukan kegiatan perdagangan, mereka yang melakukannya melalui jalur darat disebut dengan Jalur Sutra. Hal itu berlangsung sejak zaman Dinasti Tang dan mencapai puncak kejayaan pada zaman Dinasti Ming. 

Melihat konteks tersebut Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa pengembara, dimana kebiasaan atau budaya mereka yang selalu berusaha menemukan dunia – dunia baru dalam rangka berdagang. Dengan semangat dan kerja keras Bangsa Arab, akhirnya mereka mampu menancapkan eksistensinya diberbagai belahan dunia.

Menurut Talcott parson sebuah tindakan dan interaksi sosial dipengaruhi oleh dua orientasi, pertama, orientasi motivasional, yaitu orientasi bersifat pribadi yang menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,  kedua, tindakan yang berorientasi nilai, yaitu orientasi yang menunjuk pada standar normatif, seperti wujud agama, dan nilai-nilai kepercayaan[2].

Pada dasarnya perluasan wilayah yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin adalah dalam rangka menyebarkan nilai – nilai Islam yang telah digariskan sebagaimana mestinya oleh Nabi Muhamad SAW dan merupakan sebuah keharusan bahwa hal tersebut sampai kepada bangsa –bangsa lainnya yang belum mengenal kebudayaan Islam.

Akan tetapi pola perluasan wilayah setelah Khulafaur Rasyidin mengalami pergeseran paradigma, dari gerakan moral menuju politik. Hal itu terjadi pada saat Dinasti Muawiyah. Dalam melakukan perluasan wilayah yang dilakukan oleh Muawiyah dan para penerusnya sangat kental dengan pola – pola militerisitik yang cenderung menjadikan wilyah yang dikuasainya sebagai daerah atau koloni impereriumnya. Hal ini jauh sekali dari doktrin awal bahwa penguasaan suatu daerah hanya merupakan sebuah alat untuk dapat menyebarkan nilai – nilai Islam[3].

Istilah Islam kadang suka disamakan dengan Arab, karena Keberadaannya telah menyatu dengan kebudayaan Indonesia. Diyakini, sejarah masuknya Bangsa arab ke Indonesia mulai pada abad 7 Masehi bersamaan dengan mulai menyebarnya agama Islam ke Nusantara. Sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.  

Jika dilihat pada proses masuknya Islam ke Indonesia, pada saat itu nuansa Budha / Hindu masih sangat kental sehingga banyak dipengaruhi oleh kebiasaan seperti 40 harian atau Syuroan, tradisi tahlilan, menghormati karuhun atau suatu tradisi yang menyembah ala dinamisme / animisme. Tumbukan kebudayaan tersebut memperlihatkan Islam tidak selalu identik dengan Arab tetapi proses adaptasi yang bergantung dengan budaya setempat yang menentukan corak kebudayaan yang berkembang di daerah tersebut.

Kehadiran komunitas arab tentu saja mengundang banyak reaksi dan pertentangan, terutama kalangan lokal yang berhaluan tradisional, untuk itu memungkinkan terjadinya asimilasi budaya dan pertukaran sosial (social ekchange) anatar individu dan masyasarakat. Pertukaran-pertukaran sosial tersebut menciptakan sebuah konsepsi baru tentang kebudayaan dengan beragam ciri dan bentuknya, yaitu kebudayaan dengan keanekaragaman sosial dan cara pandang yang cukup terbuka sehingga mencapai satu konsensus nilai bersama (Valeu Pluralisme).

Dari pertalian antar simpul kebudayaan diatas atara kalangan tradisional dan komunitas arab menjadikan sebuah keniscayaan akan adanya perubahan sosial, ditambah dengan arus modernisasi yang dalam prakteknya senantiasa menggerus budaya-budaya tradisonal dan adat sehingga menimbulkan sebuah cara pandang baru, baik dari aspek prilaku, tatanan sosial, maupun struktur yang ada di masyarakat.

Konsekuensi dari modernisasi adalah adanya perubahan, dimulai dari perubahan cara hidup (way of life) maupun keberagamaan (religiusitas). Aspek keberagamaan (religiusitas) yang dimaksud adalah tata cara ritual dan pola-pola interaksi masyarakat dalam kehidupan beragama. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya budaya-budaya sufisme yang dibungkus dengan kemasan modern yang afirmative dengan teknologi, seperti ESQ, tumbuhnya gerakan-gerakan keagamaan baru seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dikir, bahkan gerakan ekstrimis Islam yang diwakili oleh kaum fanatik Islam sebagai efek penolakan terhadap modernisasi.

Dalam sejarah Indonesia tercatat beberapa pengaruh tradisi arab dalam kehidupan masyarakat. Dimana terjadi kontak pemikiran antara kaum tradisional dan modern, sehingga memunculkan dua spektrum arah pemikiran Islam yang secara praksis berkaitan dengan pembentukkan landasan idiologi negara. Pertama : dengan mengidealisir Islam sebagai satu-satunya sistem sosial yang mampu memelihara demokrasi sejati, kesetiaan pada hukum dan keadilan ekonomi. Titik klimaks dari pandangan ini adalah terciptanya konsep ”masyarakat Islam”  di Indonesia melalui proses Islamisasi dalam seluruh kehidupan (Way of Life). Pandangan kedua : Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan Bangsa, akan tetapi peranan yang harus dimainkan Islam bukan diambil dari idealisasi Islam sebagai satu-satunya altrnatif bagi situasi yang ada, melainkan lebih dari sebagai dasar inspirasi bagi suatu kerangka nasional suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, Islam bukanlah suatu alternatif bagi sistem sosial, melainkan aktor pelengkap diantara jajaran yang luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan Bangsa[4].

Dari kedua pandangan tersebut tentu saja menuai reaksi dan perdebatan yang panjang, tidak hanya sebagai respon atas konsekuensi negara memberlakukan pancasila sebagai sebuah idiologi negara, terlebih mengarah kepada pertarungan idiologi internal  Islam. Kedua pandangan tersebut mempunyai implikasinya sendiri terhadap masa depan dan jadi perdebatan sepanjang sejarah bangsa kedepan, antara Idealisasi Islam sebagai sistem sosial dan Islam sebagai faktor pelengkap.

Kegagalan umat Islam dalam kancah politik berakibat adanya konsekuensi perkembangan politik yang pada saat ini yang telah mematikan aspirasi untuk formalisasi Islam dalam kehidupan negara[5]. Melihat berbagai pertentangan pandangan tersebut, Natsir memberikan pandangan yang cukup moderat, bahwa bagi kaum Muslimin, urusan Agama itu bukan ibarat satu baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamamana suka, akan tetapi menjadi urusan prive semata-mata, melainkan juga masalah kemasyarakatan, bahkan masalah kenegaraan[6].  Pandangan tersebut bertitik tolak pada landasan Al-Qur’an ( Adz-Dzariyaat ; 56) “ Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku “.

 Reaksi atas permasalahan bangsa dan agama sebagai respon atas kehadiran modernisasi dalam Islam, orang-orang arab yang masih memegang pemahaman Islam klasik membuat berbagai komunitas, dengan sebuah kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai dan norma yang masih diyakini. Komunitas Arab tersebut seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dzikir dan lain sebagainya.

Kelompok-kelompok yang muncul dari kalangan Arab ini menurut pespektif W.G Summer sebagai In Group yang merupakan artikulasi dari perasaan ”kami yang di dalam” dan secara tegas membedakan ”mereka yang di luar”. Artinya konsep Summer ini membedakan unsur linkage kelompok secara tajam. Atas dasar penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa in group adalah kelompok sosial yang masing-masing anggotanya mengidentifikasi dirinya sebagai suatu kelompok sampai mereka ”merasa satu diri”. Untuk mencapai konsensus atau penyatuan diri, kelompok tersebut ditandai oleh cohesiviness, conformity, and sentimnt yang tinggi sekali. Konsep tersebut identik dengan  primay group dari Cooley,gameinschaft dari tonnies, solidaritas mekanik dari Durkheim dan pola hubungan familistik dari sorokin[7].

Dalam kondisi tersebut fenomena keberagamaan (religiusitas) mengalami perubahan. Terjadinya sentralisasi kuasa atas kebenaran, ikatan-ikatan yang bersumber atas egosentrisme dan meminjam bahasa pancha sebagai fenomena Islam sebagai Trend, yang melihat wajah Islam kepada figur dan sosok kharismatik.

referensi :
[1] Dr.Badri Yatim (2000), Sejarah Peradaban Islam. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.
[2] Dr. Yusron Razak MA (2008), Sosiologi sebuah pengantar ; Tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam. LSA, Jakarta.  
[3] Artikel M. Chaidir, Arab di Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat. www.selamatkanindonesia.net
[4] Artikel KH.Abdurrahman Wahid, Kelas Menengah dalam Islam di Indonesia
[5] Latif, Yudi. (2005) Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Mizan, Bandung.
[6] M. Natsir (2001), Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Media Da’wah. Jakarta.
[7] Asrid S. Susanto (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Jakarta

Pancasila itu...

Penulis : Adriansyah (Presiden BEM-J Sosiologi)

Pancasila merupakan ideology bangsa yang telah dirumuskan oleh para founding father, beberapa ahli sejarah berpendapat Bung Karno adalah penggali Pancasila, namun tetap saja kita tidak boleh mengkultuskan satu individu saja.

Peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 seharusnya lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideology pada semua bidang kehidupan bangsa. Pancasila adalah ideology paling tepat buat bangsa kita. Pancasila memberikan tempat kepada semua agama, golongan dan suku bangsa. Bila mau memilih ideology lain, pasti bertentangan dengan ideology lain.

Dalam pidatonya, bung Karno mengungkap tentang NASAKOM (Nasionalis, Agama,dan Kom). Banyak yang berpendapat bahwa Kom adalah komunis, tapi beliau menegaskan saya bukan komunis, tapi Kom dalam arti sempit adalah Marxisme atau sosialisme. Beliau juga megatakan “ Pancasila juga untuk Kom, dan jangan mengaku anak cucu bung Karno kalau tidak kiri(sosialis).

Dalam sejarah seringkali terjadi manipulasi, banyak yang mengatakan bung Karno sebagai komunis dan pembodohan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Padahal NASAKOM dan Pancasila adalah suatu bentuk keinginan para founding father untuk menyatukan keragaman budaya dan ideology bangsa.

Pernah muncul suatu fenomena dimana KH. Hasyim Asy’ari yang bekerjasama dengan Bung Tomo seorang sosialis dan nasionalis sekuler untuk mengusir Belanda. Ini adalah fenomena yang jarang bahkan hampir tidak ada kita temukan di negara lain.

Salah satu ideology yang menurut saya menambah martabat bangsa, yaitu BERDIKARI (Berdiri Diatas Kaki Sendiri). Ideology ini membuat Soekarno berani mengatakan pada Amerika kata-kata Go To Hell With Your Aid persetan dengan bantuanmu, dan dengan kaca mata hitamnya beliau berbicara di PBB, “Indonesia Negara besar, jadi kami tidak butuh PBB.” Namun, sayangnya ideology BERDIKARI justru menitis pada tokoh seperti Ahmadinejad, Evo Morales, Moamar Khadafie dan Hugo Chaves yang mencanangkangkan kemandirian ekonomi. Yang perlu ditanyakan, kenapa tidak turun ke anak biologisnya Bung Karno ?

Kita masih ingat ketika presiden RI ke dua yang membuka pasar bagi para pemodal asing di Indonesia, terjadi peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974. Dimana 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 ditahan, 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak, 160 kg emas hilang di beberapa toko emas. Ini suatu pertanda rakyat tidak setuju kalau orang asing mendominasi perekonomian.

Apalagi pak mantan presiden ke dua, ketika menandatangani bantuan IMF, justru imbasnya terbawa sampai sekarang. Menurut Anhar Gonggong, setiap Negara yang dapat bantuan dari IMF tidak akan pernah maju, contohnya saja Negara-negara Amerika Latin.

Ketika pak SBY Presidenku mengikuti KTT Non Blok, bergabung dengan Ahmadinejad, Moamar Khadafie, Morales, Chaves beliau melihat  para pemimpin Negara itu sangat kasar kepada Amerika dan Israel, sehingga banyak politisi yang menyuruh pak SBY presidenku untuk meniru mereka, tapi pak SBY berkata “saya punya karakter dan jati diri sendiri."

"pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya"(al-mawardi), Kalo pemimpinnya punya semangat nasionalisme yang tinggi, maka hasilnya proklamasi 17 Agustus 1945, tapi klo pemimpinya hanya punya semangat internasionalisme, maka hasilnya neo liberal, liberalisasi pendidikan, budaya hedonisme dan konsumtik. Wajar saja kalau ada acara “Bule Gila” banyak yang tertawa melihat bule jualan gorengan, mungkin mereka berasumsi orang pribumi yang lebih pantas. Apakah para pemuda bangsa masih bisa kritis dengan ideology bangsa di Negara kita ? Atau terbawa westernisasi dan apa saja yang penting mirip bule.

Kamis, 23 Desember 2010

UIN Jakarta Builds FISIP Building

Written by Sheli
Thursday, 25 November 2010 21:21

UIN Jakarta, UIN News-UIN Jakarta is in the process of building the Faculty of Social and Political Sciences building in Kertamukti area, East Ciputat. The construction of the building is done in two phases, starting in early October 2010 on an area of approximately 10,000 m2 and building area of 12,000 m2.

The chairman of the building construction, Saeful Tasman SE, said that FISIP building is built as high as six floors equipped with a basement. It is expected that the first phase of construction will be completed in late December. "The budget comes from the 2010 National Budget-Change (APBN-P) amounting to Rp 3.2 billion from the total cost of Rp 91.5 billion," Saeful said, when UINNEWS met Saeful in his office some time ago. He also explained that the inauguration of the building’s construction was carried out by the Minister of Religious Affairs Suryadharma last October.

The construction of the FISIP building which uses Wisma Kertamukti’s land is located on campus two in Kertamukti Street, East Ciputat. The location is right next to the building of Faculty of Psychology. Before being used as the location for the new building there stood a building that served as a liaison office or representative of Provincial Government of West Java in Jakarta. Now, the use of the land is managed by UIN Jakarta as a result of the cooperation of UIN Jakarta and the Provincial Government of West Java which was signed early last May.

FISIP Building, said Saeful, is built in two phases. The first phase is expected to finish at the end of December. "We hope, at the beginning of January, a new budget will be ready, so that we can continue with the second phase of construction", he said. Now, while the construction is in progress, students lecturing activities are held in the faculty of psychology.

The establishment of the Faculty of Social is done in line with the Rector of UIN Jakarta's decision No.162 of 2009; this Faculty consists of three courses of study (priodi); that is, Political Science, International Relations, and Sociology.

With the establishment of Faculty of Social Sciences, UIN Jakarta now has five general faculties and six religious faculties. The Five General Faculties are the Faculty of Medicine and Health Sciences, Faculty of Psychology, Faculty of Science and Technology, Faculty of Economics and Business, and Faculty of Social and Political Sciences. (elve/sheli)

taken from : http://en.uinjkt.ac.id/index.php/campus-news/299-uin-jakarta-builds-fisip-building