Jumat, 24 Desember 2010

Quo Vadis Gerakan Mahasiswa?

Penulis : Arlian Buana Chrissandi, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional

Gerakan mahasiswa di Indonesia diakui banyak pihak memiliki kekuatan yang hebat dalam menentukan arah bangsa. Namun dewasa ini, banyak pihak yang menilai gerakan mahasiswa tidak lagi murni berangkat dari idealisme. Gerakan mahasiswa sering ditunggangi kepentingan kelompok tertentu.


Tidak diragukan lagi kontribusi pemuda dan mahasiswa dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Begitu pula sumbangsih mereka dalam mengawal pelaksanaan pemerintahan. Sejarah mencatat berbagai peristiwa besar yang mendemonstrasikan heroisme pemuda. Sampai-sampai seorang Indonesianis, Ben Anderson, berani mengatakan “sejarah Indonesia adalah sejarah pemudanya”.


Gerakan Mahasiswa dalam Berita 

Dalam beberapa minggu terakhir, epik cicak vs buaya menjadi isu yang paling mendominasi pemberitaan media massa. Kemudian dilanjutkan dengancenturygate . Dan hampir setiap hari, media memberitakan beragam aksi massa dari berbagai organisasi kemahasiswaan.



Sekilas kita akan mendapatkan gambaran tentang Bung Karno dan Bung Hatta muda dalam barisan aksi mendukung KPK. Kita percaya bahwa para mahasiswa tersebut terpanggil hati nuraninya untuk membela dan menegakkan keadilan di negeri ini. Kita yakin mereka sudah sangat muak dengan mafia peradilan dan tindak korupsi. Tapi apa lacur, di lapangan ditemukan fakta bahwa mereka rela berpanas-panas berdemonstrasi bukan karena cita-cita mulia pengentasan korupsi. Melainkan karena uang yang dijanjikan dan dikantongi, yang padahal jumlahnya tidak seberapa.


Tentu tidak semua mahasiswa berdemonstrasi karena uang. Masih ada titisan Soe Hok Gie yang terselip di barisan. Namun secara umum, kita dapat melihat perilakunya dari organisasi kemahasiswaan yang ada. Hampir setiap organisasi kemahasiswaan yang besar, memiliki senior di pemerintahan dan lembaga perwakilan. Uang dan kepentingan para senior inilah yang seringkali harus mencederai idealisme.


Reaksioner dan Visioner

Dekadensi Gerakan mahasiswa yang ditumpangi kepentingan ini, diantaranya karena mahasiswa dewasa ini cenderung reaksioner. Mahasiswa yang memegang teguh idealisme pun seringkali harus jatuh reaktif, jatuh pada lubang horizon jangka pendek.



Misalnya dalam kasus cicak vs buaya, mahasiswa lebih sering menuntut dibebaskannya Bibit-Chandra daripada mendesak reformasi sistem peradilan di Indonesia. Padahal visi besarnya adalah pembenahan sistem peradilan yang tidak boleh lagi melukai rasa keadilan rakyat. Dan dalam banyak kasus, respons yang dilemparkan gerakan mahasiswa lebih banyak respons reaktif. Sehingga lebih banyak gagal secara substansi. Contohnya ketika kenaikan harga BBM.


Padahal gerakan pemuda dan mahasiswa pada zaman perjuangan menuju kemerdekaan dapat dijadikan cerminan. Kita dapat menapaktilasi bagaimana luar biasa visionernya pemuda bernama Soekarno, Hatta beserta kawan-kawan seperjuangannya. Gerakan pada masa itu bukan hanya reaksi atas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, tapi juga disertai sebuah visi besar bernama Indonesia. Sehingga respons mereka terhadap kejadian-kejadian penting pada masa itu adalah respons kreatif. Seperti kompromi-kompromi dengan tentara Jepang untuk hal-hal yang jauh lebih besar, yaitu kemerdekaan.


Tantangan Zaman 

Lain daripada itu, organisasi kemahasiswaan di Indonesia dihadapkan dengan tantangan zaman yang semakin mengglobal. Salah satu ciri dari zaman yang akan datang adalah tuntutan terhadap seseorang atau kelompok untuk memiliki identitas dan spesialisasi peran (Alexander Wendt: 1999). 



Meskipun belum terang benar distingsinya, organisasi kemahasiswaan di Indonesia memiliki identitas yang cukup jelas. Namun sayangnya, organisasi-organisasi tersebut belum memiliki spesialisasi peran. Padahal ke depan, Organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan lain-lain harus memiliki peran dan peranan khusus jika tetap ingin unjuk gigi.


Secara kasat mata, kita dapat melihat gejala zaman ini dari kecenderungan organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM) yang lebih banyak bermain segmentasi isu agar memiliki peran spesial. Misalnya Indonesia Corruption Watch (ICW) yang concern pada isu korupsi, atau WALHI dan Greenpeace yang bicara mengenai isu-isu lingkungan hidup. Kita tentu boleh bertanya; Apakah organisasi macam HMI memiliki data-data valid yang lengkap mengenai korupsi di Indonesia? Jawabannya pasti tidak dan kita akan segera merujuk pada ICW.


Respons kreatif dan respons reaktif memang beda-beda tipis. Dan kecenderungan gerakan mahasiswa dewasa ini yang lebih reaktif nampaknya disebabkan oleh penguasaan terhadap masalah yang setengah-setengah. Sehingga menghambat gerakan-gerakan tersebut untuk memiliki visi besar tentang bangsa ini. Karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan, gerakan-gerakan mahasiswa berpotensi untuk disulut dan kendalikan kepentingan kelompok tertentu.


PMII, HMI, IMM dan organisasi-organisasi lain tentu tak ingin punah tergerus zaman. Untuk itu, organisasi-organisasi tersebut harus pandai-pandai menjawab tantangan zaman. Sementara, mengubah organisasi-organisasi kemahasiswaan menjadi LSM yang bergerak dalam satu isu (bidang) pun rasanya tidak mungkin. Maka tawaran terbaiknya adalah, organisasi-organisasi mahasiswa harus mampu mendidik kader-kadernya agar memiliki spesialisasi, expert dan tersebar di berbagai bidang. 


Dengan banyak kader yang memiliki pengetahuan dan kemampuan khusus yang lengkap, gerakan mahasiswa akan jauh lebih baik dan memiliki visi besar untuk membangun bangsa ini. Dan semoga tidak lagi jatuh pragmatis dan reaktif.

Demokrasi, Toleransi dan Pelarangan Buku


Penulis : Arlian Buana Chrissandi, mahasiswa Hubungan Internasional


30 Desember 2009, Pukul 19.00 WIB mendadak beberapa stasiun tv menayangkan breaking news wafatnya Gus Dur. Seketika Indonesia berkabung. Berduka karena kehilangan salah satu putera terbaik bangsa. Sejenak kita dan media massa lupa tentang mobil baru para menteri, Pansus Century, dan Gurita Cikeas. Sejenak kita tinggalkan persiapan pesta tahun baru.

Sekelumit tentang Gus Dur
Kita semua tidak punya hak prerogatif untuk meragukan peran dan peranan besar Gus Dur bagi bangsa ini. Gus Dur memang sosok negarawan yang unik sehingga sering disalahpahami. Beliau sering dianggap kontroversial, sering dicap konsisten dalam inkonsistensi.

Gus Dur selalu maju dan baru. Sementara sesuatu yang baru selalu kontroversial. Ada kecenderungan alamiah manusia untuk mempertahankan status quo, kemapanan. Sementara keadaan dan peradaban selalu menghendaki perubahan. Pikiran dan tindakan Gus Dur seringkali melampaui banyak orang, sehingga kerapkali sulit diterima.

Diantara sifat Gus Dur yang paling menonjol adalah ketidaktakutannya akan perbedaan. Sehingga memungkinkan beliau menjadi pejuang demokrasi, penganjur perdamaian dan pahlawan pluralisme (Tajuk Rencana Kompas, 31/12/09). Gus Dur adalah tokoh dengan toleransi tinggi, yang meyakini bahwa perbedaan adalah rahmat.

Penghormatan terhadap Gus Dur seharusnya tidak berhenti pada upacara kenegaraan mengantar keberpulangan beliau ke rahmatullah. Bahkan pemberian gelar pahlawan nasional pun tidak akan berarti sama-sekali, jika bangsa ini tidak menghargai warisan gagasan dan pemikirannya.

Warisan Gus Dur dan pelarangan buku
Pagi hari, sebelum Gus Dur mendahului kita, media elektronik sedang meributkan buku Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro. Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan HAM mengisyaratkan pelarangan buku tersebut dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun tv. Tak lama kemudian, terjadi insiden pengibasan buku oleh George, yang mengenai dahi kiri Ramadhan Pohan pada saat launching dan diskusi buku tersebut.

George sendiri adalah pengagum Gus Dur, setidaknya terlihat dari kutipan kata-kata Gus Dur pada cover bukunya. Begitu pula Patrialis, ia sendiri yang mengungkapkan kecintaannya kepada Gus Dur di hadapan para wartawan ketika tergopoh-gopoh masuk RSCM, beberapa saat setelah Gus Dur seda.

Akan tetapi, kegaguman tampaknya tinggal kekaguman. George alfa bahwa semua orang memiliki hak bicara dan musti dihormati. Sehingga lebih memilih mendahulukan akumulasi kekesalannya, daripada meneladani Gus Dur yang toleran dan menganggap ringan omongan orang.

Sementara, isyarat Patrialis dan –karena kegerahan- pemerintah untuk mengumumkan pelarangan peredaran buku George, jelas merupakan indikasi yang akan merendahkan warisan pemikiran Gus Dur. Melukai demokrasi, menodai penghormatan terhadap perbedaan.

Perbedaan pendapat dan pandangan mutlak terjadi di negara yang pluralistik. Demokrasi membuka ruang yang luas untuk perbedaan pendapat. Gus Dur telah meletakkan dasar-dasar toleransi di republik ini. Beliau telah membukakan jalan bagi perayaan perbedaan (pendapat). Akankah bangsa ini melupakannya begitu saja, segera setelah beliau wafat?

Pelarangan peredaran sebuah buku hanya akan mengulang lembaran sejarah lama, ketika republik ini dikuasai rezim otoriter. Sekaligus merupakan pembodohan sistematis yang dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Padahal negara, -melalui konstitusi- mengamanatkan pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang rajin membaca. Dalam hal animo membaca masyarakatnya, Jepang merupakan negara yang menduduki peringkat teratas. Karena dibukakan kesempatan membaca seluas-luasnya. Jepang terbuka bagi semua buku di dunia ini. Bahkan buku yang dilarang di negara asalnya, dapat ditemukan copy-nya di Jepang berikut terjemahannya. Tidak tertutup kemungkinan, buku Membongkar Gurita Cikeas akan segera beredar disana.

Sekeras apapun usaha pemerintah untuk membungkam nada-nada sumbang yang menggerahkan, sejarah dan kemanusiaan akan tetap bergeming. Usaha untuk mengatasi perbedaan dengan pelarangan, hanya akan melahirkan perlawanan baru.

Sepanjang hayatnya, Gus Dur telah berjuang membela kaum minoritas dan tertindas di republik ini. Agar bangsa ini membuka mata dan telinga terhadap eksistensi dan suara mereka yang terpinggirkan. Gus Dur telah menunaikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh etnis Tionghoa dan eks-PKI beserta keluarga.

Gus Dur telah memperjuangkan gagasan-gagasannya tidak hanya dengan perumusan secara konseptual. Melainkan juga dengan tindakan-tindakan yang mengambil berbagai risiko politik. Bahkan tidak jarang dengan pengorbanan.

Semoga George, Patrialis dan kita semua mampu menghormati Gus Dur dengan meneruskan perjuangannya.

Islam dan Komunitas Arab di Indonesia

penulis : Cecep Sopandi, mahasiswa jurusan Sosiologi

Penduduk Indonesia pada awal sejarahnya dikenal sebagai pelayar-pelayar yang handal dan tangguh. Indonesia juga merupakan wilayah yang cukup strategis dan kaya dengan sumber daya alamnya, terutama di wilayah barat nusantara dan sekitar malaka merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian,  kenyataan itu menjadi titik tolak tersendiri bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.

Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India mulai datang dan berdagang di kepulauan Indonesia sejak abad ke 7 masehi (abad 1 H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah[1]. Dengan datangnya komunitas arab di Indonesia selain motivasi perdagangan juga berimplikasi terhadap perkembangan budaya dan agama. Hal itu dapat dilihat dari Islamisasi dan asimilasi budaya komunitas arab terhadap penduduk lokal  sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia. Kenyataannya kini tradisi Arab menjadi milik mayoritas penduduk Indonesia.

Dalam perjalannya perkembangan tradisi Arab di Indonesia mempunyai dinamikanya tersendiri. Dalam priode awal, ia mengalami perbenturan dengan nilai-nilai asli Indonesia, khususnya Kejawen. Salah satu strategi yang digunakan saat itu adalah sinkretisme yang menjadi jalan tengah dalam perbenturan ini yang melahirkan Islam-Kejawen atau Islam Abangan. Dalam priode berikutnya, tradisi Arab berhadapan dengan kaum penjajah khususnya Belanda yang membawa ajaran Kristen. Dalam hal yang paling prinsipil, yakni dalam dimensi ajaran, hampir tak pernah ada titik temu antara dua kebudayaan ini kecuali orang-orang Islam Indonesia menerima sistem sekolah yang ditawarkan Belanda. Selain itu, dalam upaya mencapai eksistensi teologisnya yaitu menjadikan Islam sebagai landasan ideal pembentukan idiologi Negara, tradisi arab terbentur dengan konsep Nasionalisme, dalam kasus tersebut banyak kalangan Islam menerapkan respon ganda dalam menghadapi kolonialisme.

Dalam perjalannya penyebaran Islam hingga ke Asia terutama sampai ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perjalanan masuknya Islam di Cina dan India. Sehingga dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut merupakan dampak dari pergolakan politik yang terjadi di Abad pertengahan.

Masuknya Islam ke Cina jika dilihat dari bukti – bukti sejarah secara resmi dimulai sejak Khalifah Usman Bin Affan. Karena daerah Cina dipandang sebagai wilayah yang berperadaban lebih maju pada saat itu. Sebenarnya sebelum itu, sudah banyak pedagang – pedagang Arab yang berkunjung ke Cina, melakukan kegiatan perdagangan, mereka yang melakukannya melalui jalur darat disebut dengan Jalur Sutra. Hal itu berlangsung sejak zaman Dinasti Tang dan mencapai puncak kejayaan pada zaman Dinasti Ming. 

Melihat konteks tersebut Bangsa Arab dikenal sebagai bangsa pengembara, dimana kebiasaan atau budaya mereka yang selalu berusaha menemukan dunia – dunia baru dalam rangka berdagang. Dengan semangat dan kerja keras Bangsa Arab, akhirnya mereka mampu menancapkan eksistensinya diberbagai belahan dunia.

Menurut Talcott parson sebuah tindakan dan interaksi sosial dipengaruhi oleh dua orientasi, pertama, orientasi motivasional, yaitu orientasi bersifat pribadi yang menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,  kedua, tindakan yang berorientasi nilai, yaitu orientasi yang menunjuk pada standar normatif, seperti wujud agama, dan nilai-nilai kepercayaan[2].

Pada dasarnya perluasan wilayah yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin adalah dalam rangka menyebarkan nilai – nilai Islam yang telah digariskan sebagaimana mestinya oleh Nabi Muhamad SAW dan merupakan sebuah keharusan bahwa hal tersebut sampai kepada bangsa –bangsa lainnya yang belum mengenal kebudayaan Islam.

Akan tetapi pola perluasan wilayah setelah Khulafaur Rasyidin mengalami pergeseran paradigma, dari gerakan moral menuju politik. Hal itu terjadi pada saat Dinasti Muawiyah. Dalam melakukan perluasan wilayah yang dilakukan oleh Muawiyah dan para penerusnya sangat kental dengan pola – pola militerisitik yang cenderung menjadikan wilyah yang dikuasainya sebagai daerah atau koloni impereriumnya. Hal ini jauh sekali dari doktrin awal bahwa penguasaan suatu daerah hanya merupakan sebuah alat untuk dapat menyebarkan nilai – nilai Islam[3].

Istilah Islam kadang suka disamakan dengan Arab, karena Keberadaannya telah menyatu dengan kebudayaan Indonesia. Diyakini, sejarah masuknya Bangsa arab ke Indonesia mulai pada abad 7 Masehi bersamaan dengan mulai menyebarnya agama Islam ke Nusantara. Sekalipun tak sepenuhnya menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya, terutama yang diajarkan agama Hindu dan Budha, tradisi Arab mampu menyebar ke berbagai pulau di Indonesia.  

Jika dilihat pada proses masuknya Islam ke Indonesia, pada saat itu nuansa Budha / Hindu masih sangat kental sehingga banyak dipengaruhi oleh kebiasaan seperti 40 harian atau Syuroan, tradisi tahlilan, menghormati karuhun atau suatu tradisi yang menyembah ala dinamisme / animisme. Tumbukan kebudayaan tersebut memperlihatkan Islam tidak selalu identik dengan Arab tetapi proses adaptasi yang bergantung dengan budaya setempat yang menentukan corak kebudayaan yang berkembang di daerah tersebut.

Kehadiran komunitas arab tentu saja mengundang banyak reaksi dan pertentangan, terutama kalangan lokal yang berhaluan tradisional, untuk itu memungkinkan terjadinya asimilasi budaya dan pertukaran sosial (social ekchange) anatar individu dan masyasarakat. Pertukaran-pertukaran sosial tersebut menciptakan sebuah konsepsi baru tentang kebudayaan dengan beragam ciri dan bentuknya, yaitu kebudayaan dengan keanekaragaman sosial dan cara pandang yang cukup terbuka sehingga mencapai satu konsensus nilai bersama (Valeu Pluralisme).

Dari pertalian antar simpul kebudayaan diatas atara kalangan tradisional dan komunitas arab menjadikan sebuah keniscayaan akan adanya perubahan sosial, ditambah dengan arus modernisasi yang dalam prakteknya senantiasa menggerus budaya-budaya tradisonal dan adat sehingga menimbulkan sebuah cara pandang baru, baik dari aspek prilaku, tatanan sosial, maupun struktur yang ada di masyarakat.

Konsekuensi dari modernisasi adalah adanya perubahan, dimulai dari perubahan cara hidup (way of life) maupun keberagamaan (religiusitas). Aspek keberagamaan (religiusitas) yang dimaksud adalah tata cara ritual dan pola-pola interaksi masyarakat dalam kehidupan beragama. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya budaya-budaya sufisme yang dibungkus dengan kemasan modern yang afirmative dengan teknologi, seperti ESQ, tumbuhnya gerakan-gerakan keagamaan baru seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dikir, bahkan gerakan ekstrimis Islam yang diwakili oleh kaum fanatik Islam sebagai efek penolakan terhadap modernisasi.

Dalam sejarah Indonesia tercatat beberapa pengaruh tradisi arab dalam kehidupan masyarakat. Dimana terjadi kontak pemikiran antara kaum tradisional dan modern, sehingga memunculkan dua spektrum arah pemikiran Islam yang secara praksis berkaitan dengan pembentukkan landasan idiologi negara. Pertama : dengan mengidealisir Islam sebagai satu-satunya sistem sosial yang mampu memelihara demokrasi sejati, kesetiaan pada hukum dan keadilan ekonomi. Titik klimaks dari pandangan ini adalah terciptanya konsep ”masyarakat Islam”  di Indonesia melalui proses Islamisasi dalam seluruh kehidupan (Way of Life). Pandangan kedua : Islam memainkan peranan penting dalam kehidupan Bangsa, akan tetapi peranan yang harus dimainkan Islam bukan diambil dari idealisasi Islam sebagai satu-satunya altrnatif bagi situasi yang ada, melainkan lebih dari sebagai dasar inspirasi bagi suatu kerangka nasional suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, Islam bukanlah suatu alternatif bagi sistem sosial, melainkan aktor pelengkap diantara jajaran yang luas dari faktor-faktor lain dalam kehidupan Bangsa[4].

Dari kedua pandangan tersebut tentu saja menuai reaksi dan perdebatan yang panjang, tidak hanya sebagai respon atas konsekuensi negara memberlakukan pancasila sebagai sebuah idiologi negara, terlebih mengarah kepada pertarungan idiologi internal  Islam. Kedua pandangan tersebut mempunyai implikasinya sendiri terhadap masa depan dan jadi perdebatan sepanjang sejarah bangsa kedepan, antara Idealisasi Islam sebagai sistem sosial dan Islam sebagai faktor pelengkap.

Kegagalan umat Islam dalam kancah politik berakibat adanya konsekuensi perkembangan politik yang pada saat ini yang telah mematikan aspirasi untuk formalisasi Islam dalam kehidupan negara[5]. Melihat berbagai pertentangan pandangan tersebut, Natsir memberikan pandangan yang cukup moderat, bahwa bagi kaum Muslimin, urusan Agama itu bukan ibarat satu baju yang boleh dipakai dan digantungkan, bilamamana suka, akan tetapi menjadi urusan prive semata-mata, melainkan juga masalah kemasyarakatan, bahkan masalah kenegaraan[6].  Pandangan tersebut bertitik tolak pada landasan Al-Qur’an ( Adz-Dzariyaat ; 56) “ Tidak Aku jadikan Jin dan Manusia itu, hanyalah untuk mengabdi kepada-Ku “.

 Reaksi atas permasalahan bangsa dan agama sebagai respon atas kehadiran modernisasi dalam Islam, orang-orang arab yang masih memegang pemahaman Islam klasik membuat berbagai komunitas, dengan sebuah kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai dan norma yang masih diyakini. Komunitas Arab tersebut seperti Majelis Rasulullah, Majelis Dzikir dan lain sebagainya.

Kelompok-kelompok yang muncul dari kalangan Arab ini menurut pespektif W.G Summer sebagai In Group yang merupakan artikulasi dari perasaan ”kami yang di dalam” dan secara tegas membedakan ”mereka yang di luar”. Artinya konsep Summer ini membedakan unsur linkage kelompok secara tajam. Atas dasar penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa in group adalah kelompok sosial yang masing-masing anggotanya mengidentifikasi dirinya sebagai suatu kelompok sampai mereka ”merasa satu diri”. Untuk mencapai konsensus atau penyatuan diri, kelompok tersebut ditandai oleh cohesiviness, conformity, and sentimnt yang tinggi sekali. Konsep tersebut identik dengan  primay group dari Cooley,gameinschaft dari tonnies, solidaritas mekanik dari Durkheim dan pola hubungan familistik dari sorokin[7].

Dalam kondisi tersebut fenomena keberagamaan (religiusitas) mengalami perubahan. Terjadinya sentralisasi kuasa atas kebenaran, ikatan-ikatan yang bersumber atas egosentrisme dan meminjam bahasa pancha sebagai fenomena Islam sebagai Trend, yang melihat wajah Islam kepada figur dan sosok kharismatik.

referensi :
[1] Dr.Badri Yatim (2000), Sejarah Peradaban Islam. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.
[2] Dr. Yusron Razak MA (2008), Sosiologi sebuah pengantar ; Tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam. LSA, Jakarta.  
[3] Artikel M. Chaidir, Arab di Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat. www.selamatkanindonesia.net
[4] Artikel KH.Abdurrahman Wahid, Kelas Menengah dalam Islam di Indonesia
[5] Latif, Yudi. (2005) Inteligensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Mizan, Bandung.
[6] M. Natsir (2001), Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Media Da’wah. Jakarta.
[7] Asrid S. Susanto (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Bina Cipta, Jakarta

Pancasila itu...

Penulis : Adriansyah (Presiden BEM-J Sosiologi)

Pancasila merupakan ideology bangsa yang telah dirumuskan oleh para founding father, beberapa ahli sejarah berpendapat Bung Karno adalah penggali Pancasila, namun tetap saja kita tidak boleh mengkultuskan satu individu saja.

Peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 seharusnya lebih memusatkan perhatian tentang penerapan ideology pada semua bidang kehidupan bangsa. Pancasila adalah ideology paling tepat buat bangsa kita. Pancasila memberikan tempat kepada semua agama, golongan dan suku bangsa. Bila mau memilih ideology lain, pasti bertentangan dengan ideology lain.

Dalam pidatonya, bung Karno mengungkap tentang NASAKOM (Nasionalis, Agama,dan Kom). Banyak yang berpendapat bahwa Kom adalah komunis, tapi beliau menegaskan saya bukan komunis, tapi Kom dalam arti sempit adalah Marxisme atau sosialisme. Beliau juga megatakan “ Pancasila juga untuk Kom, dan jangan mengaku anak cucu bung Karno kalau tidak kiri(sosialis).

Dalam sejarah seringkali terjadi manipulasi, banyak yang mengatakan bung Karno sebagai komunis dan pembodohan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Padahal NASAKOM dan Pancasila adalah suatu bentuk keinginan para founding father untuk menyatukan keragaman budaya dan ideology bangsa.

Pernah muncul suatu fenomena dimana KH. Hasyim Asy’ari yang bekerjasama dengan Bung Tomo seorang sosialis dan nasionalis sekuler untuk mengusir Belanda. Ini adalah fenomena yang jarang bahkan hampir tidak ada kita temukan di negara lain.

Salah satu ideology yang menurut saya menambah martabat bangsa, yaitu BERDIKARI (Berdiri Diatas Kaki Sendiri). Ideology ini membuat Soekarno berani mengatakan pada Amerika kata-kata Go To Hell With Your Aid persetan dengan bantuanmu, dan dengan kaca mata hitamnya beliau berbicara di PBB, “Indonesia Negara besar, jadi kami tidak butuh PBB.” Namun, sayangnya ideology BERDIKARI justru menitis pada tokoh seperti Ahmadinejad, Evo Morales, Moamar Khadafie dan Hugo Chaves yang mencanangkangkan kemandirian ekonomi. Yang perlu ditanyakan, kenapa tidak turun ke anak biologisnya Bung Karno ?

Kita masih ingat ketika presiden RI ke dua yang membuka pasar bagi para pemodal asing di Indonesia, terjadi peristiwa MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974. Dimana 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 ditahan, 807 mobil dan 187 motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak, 160 kg emas hilang di beberapa toko emas. Ini suatu pertanda rakyat tidak setuju kalau orang asing mendominasi perekonomian.

Apalagi pak mantan presiden ke dua, ketika menandatangani bantuan IMF, justru imbasnya terbawa sampai sekarang. Menurut Anhar Gonggong, setiap Negara yang dapat bantuan dari IMF tidak akan pernah maju, contohnya saja Negara-negara Amerika Latin.

Ketika pak SBY Presidenku mengikuti KTT Non Blok, bergabung dengan Ahmadinejad, Moamar Khadafie, Morales, Chaves beliau melihat  para pemimpin Negara itu sangat kasar kepada Amerika dan Israel, sehingga banyak politisi yang menyuruh pak SBY presidenku untuk meniru mereka, tapi pak SBY berkata “saya punya karakter dan jati diri sendiri."

"pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya"(al-mawardi), Kalo pemimpinnya punya semangat nasionalisme yang tinggi, maka hasilnya proklamasi 17 Agustus 1945, tapi klo pemimpinya hanya punya semangat internasionalisme, maka hasilnya neo liberal, liberalisasi pendidikan, budaya hedonisme dan konsumtik. Wajar saja kalau ada acara “Bule Gila” banyak yang tertawa melihat bule jualan gorengan, mungkin mereka berasumsi orang pribumi yang lebih pantas. Apakah para pemuda bangsa masih bisa kritis dengan ideology bangsa di Negara kita ? Atau terbawa westernisasi dan apa saja yang penting mirip bule.

Kamis, 23 Desember 2010

UIN Jakarta Builds FISIP Building

Written by Sheli
Thursday, 25 November 2010 21:21

UIN Jakarta, UIN News-UIN Jakarta is in the process of building the Faculty of Social and Political Sciences building in Kertamukti area, East Ciputat. The construction of the building is done in two phases, starting in early October 2010 on an area of approximately 10,000 m2 and building area of 12,000 m2.

The chairman of the building construction, Saeful Tasman SE, said that FISIP building is built as high as six floors equipped with a basement. It is expected that the first phase of construction will be completed in late December. "The budget comes from the 2010 National Budget-Change (APBN-P) amounting to Rp 3.2 billion from the total cost of Rp 91.5 billion," Saeful said, when UINNEWS met Saeful in his office some time ago. He also explained that the inauguration of the building’s construction was carried out by the Minister of Religious Affairs Suryadharma last October.

The construction of the FISIP building which uses Wisma Kertamukti’s land is located on campus two in Kertamukti Street, East Ciputat. The location is right next to the building of Faculty of Psychology. Before being used as the location for the new building there stood a building that served as a liaison office or representative of Provincial Government of West Java in Jakarta. Now, the use of the land is managed by UIN Jakarta as a result of the cooperation of UIN Jakarta and the Provincial Government of West Java which was signed early last May.

FISIP Building, said Saeful, is built in two phases. The first phase is expected to finish at the end of December. "We hope, at the beginning of January, a new budget will be ready, so that we can continue with the second phase of construction", he said. Now, while the construction is in progress, students lecturing activities are held in the faculty of psychology.

The establishment of the Faculty of Social is done in line with the Rector of UIN Jakarta's decision No.162 of 2009; this Faculty consists of three courses of study (priodi); that is, Political Science, International Relations, and Sociology.

With the establishment of Faculty of Social Sciences, UIN Jakarta now has five general faculties and six religious faculties. The Five General Faculties are the Faculty of Medicine and Health Sciences, Faculty of Psychology, Faculty of Science and Technology, Faculty of Economics and Business, and Faculty of Social and Political Sciences. (elve/sheli)

taken from : http://en.uinjkt.ac.id/index.php/campus-news/299-uin-jakarta-builds-fisip-building

Senin, 06 Desember 2010

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Dekan: 
Prof. Dr. Bahtiar Effendy
Wakil Dekan: 
Dr. Hendro Prasetyo, MA


Program Studi:

1. Hubungan Internasional

Visi:
Sejalan dengan Visi dan Misi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Hubungan Internasional menempatkan diri sebagai pelopor (avant-grade) pembuka wawasan dan penyelenggaraan pendidikan, pengajaran, penelitian, penyebarluasan informasi dan pengabdian masyarakat di bidang ilmu hubungan internasional, yang diarahkan pada terwujudnya tujuan nasional berbangsa dan bernegara.

Misi:

Menyelenggarakan program pendidikan dan pengajaran dibidang Hubungan Internasional untuk jenjang Sarjana (SI), Magister (S2) dan Doktoral (S3) dengan penekanan pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), berupa keseimbangan antara teori dan praktek, antara pengetahuan akademis dan kemampuan professional, serta meningkatkan wawasan yang mempadukan pemikiran yang berkembang di dunia baik yang berasal dari barat maupun dari dunia islam mengenai hubungan internasional, sehingga merupakan bekal yang berharga bagi peserta didik.

Program Studi Hubungan Internasional mulai dibuka pada tahun akademik 2005/2006. Prodi ini memperoleh ijin berdiri berdasarkan SK Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional No. DJ.II/243/2006 tertanggal 11 Juli 2006. Prodi Hubungan Internasional bertujuan menyiapkan sarjana yang menempatkan dirinya sebagai pembuka wawasan dan cakrawala dunia internasional yang diarahkan pada terwujudnya tujuan nasional berbangsa dan bernegara.

Kurikulum yang digunakan prodi ini mengacu pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tujuanya untuk memacu mahasiswa agar tak hanya mengembangkan pengetahuan dan keilmuan tentang Hubungan Internasional semata, tetapi juga memiliki kemampuan dan pengalaman praktis yang siap bekerja di lembaga pemerintah dan non-pemerintah baik nasional maupun internasional.

Penyelenggaraan pendidikan Prodi Hubungan Internasional berorientasi pada tuntutan global, yaitu kecenderungan berkembangnya hubungan ekonomi politik internasional dan hubungan politik strategi internasional. Untuk menjawab tuntutan tersebut, maka prodi ini menyediakan tiga peminatan kurikulum pendidikan, yaitu ekonomi politik internasional, pengkajian strategi internasional, dan diplomasi. Kajian strategis ini diperkuat dengan nilai-nilai keislaman sehingga lulusannya tidak hanya memiliki skill dan keilmuan, tapi juga spiritualitas yang kuat.


2. Hubungan Internasional (Kelas Internasional)


3. Ilmu Politik 

Secara umum, Program Studi ini bertujuan untuk ikut serta mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang ter-padu dengan ilmu-ilmu agama dalam suatu disiplin ilmu politik. Secara khusus, Program Studi ini ditujukan untuk menghasilkan sarjana Muslim yang memiliki keahlian dalam bidang pemikiran politik dalam Islam yang berkaitan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah, Indonesia, dan negara-negara minor-itas Muslim. Program Studi ini memberi kesempatan kepada masyarakat yang ingin mengembangkan bakat dan keahlian dalam bidang pemikiran politik Islam.

Mata Kuliah Keahlian yang diberikan meliputi: Pengantar Ilmu Politik, Sejarah Pemikiran Islam, Islam Klasik dan Pertengahan, Tema Pemikiran Politik Islam, Pemikiran Politik Barat, Hak Azasi Manusia di Dunia Barat dan Islam, Pemikiran dan Gerakan Politik Islam Modern, Indonesia dan Hubungan Internasional, Etika Politik, Pemerintahan Negara-negara Islam, Metodo-logi Penelitian Ilmu Politik, Pemikiran dan Gerakan Politik Islam di Indonesia, Filsafat Politik Islam, Masya-rakat Madani, Sistem Politik Indonesia, Sistem Politik Negara ASEAN, dan Politik Minoritas Muslim.


4. Sosiologi 

Secara umum, Program Studi Sosiologi bertujuan ikut serta mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang terpadu dengan ilmu-ilmu agama dalam suatu disiplin ilmu sosiologi agama. Secara khusus, Program Studi ini bertujuan menghasilkan sarjana Muslim yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu-ilmu sosial keagamaan, khususnya bidang penelitian fenomena sosial keagamaan dan mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ditimbulkannya.

Mata kuliah Keahlian Program Studi ini antara lain : Pengantar Sosiologi Agama, Metode Penelitian Sosial, Teori Sosiologi Klasik, Teori Sosiologi Modern, Pendekatan Sosial Atas Agama, Analisis Sosial Masya-rakat Islam, Antropologi Agama, Gerakan-gerakan Keagamaan Baru, Agama dan Masalah Mayoritas-Minoritas, Sosiologi Pembangunan, Pengembangan Komunitas, Sosiologi Masyarakat Muslim Kawasan.

Minggu, 05 Desember 2010

FISIP UIN Beri Penghargaan Tiga Pemikir

JAKARTA- pada 14 Desember 2009, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah menganugerahi cendekiawan Nurcholis Madjid, sejarahwan Harun Nasution,dan pengamat politik Fachry Ali Penghargaan FISIP 2009. Ketiganya dinilai telah memberikan kontribusi pemikiran dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial dan studi keagamaan Indonesia.

"Mereka melakukan terobosan penting dalam pemikiran keislaman dan kemodernan di Indonesia. Melalui ketiganya kalau saya boleh klaim politik Islam kontemporer lahir di Ciputat," terang Dekan FISIP UIN Bahtiar Effendy,di auditorium UIN,Senin (14/12).

Bahtiar merinci, Harun layak mendapat penghargaan karena sikapnya yang rasionalis dan memberikan ruang bagi penafsiran-penafsiran tentang ajaran Islam. Sedangkan Nurcholish dan Fachry Ali terbukti mengaplikasikan ilmu-ilmu sosial dalam melihat berbagai peristiwa yang menyangkut posisi sosial, keagamaan dan politik umat Islam di Indonesia.

Menteri Agama Suryadharma Ali pun memberikan apresiasinya. Menurutnya,ketiga tokoh tersebut mewakili tiga generasi garis keislaman Indonesia. "Penghargaan ini bukti bahwa tokoh-tokoh tersebut memang diakui dan diterima,"imbuh alumni UIN Syarif Hidayatullah ini. Istri Nurcholish Madjid, Omi Komariah mengaku sangat terkesan dengan penghargaan yang diterima almarhum Cak Nur. "Saya berterima kasih pada semua pihak yang masih mengenang Cak Nur," tuturnya.

Rektor UIN Komaruddin Hidayat menyatakan,keberadaan tokoh Islam kontemporer akan membangun citra dan cita Indonesia sebagai negara muslim terbesar. Ia berharap Departemen Agama tampil sebagai pendukungnya dengan memajukan sektor pendidikan. Khususnya UIN di Malang,Jakarta,dan Jogja. "Dengan menonjolkan keunggulan masing-masing,serta pembentukan fakultas baru seperti kedokteran dan psikologi,"pungkas Komaruddin. wulandari/pur

FISIP mengadakan PROPESA


            Untuk dapat bersaing dalam lingkungan masyarakat, setiap individu diwajibkan untuk memiliki suatu kemampuan dan kecerdasan. Maka dari itu, kita dituntut untuk menimba ilmu pada jalur pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. Sejak dini, seharusnya setiap individu telah memulai untuk menimba ilmu, yakni sejak jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

            Setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA, kita dipilihkan pada dua pilihan, yaitu langsung terjun mencari pekerjaan atau ingin melanjutkan ke bangku kuliah terlebih dahulu. Dengan masuk ke dalam dunia perkuliahan, maka mahasiswa akan mendapatkan pengetahuan yang lebih, baik secara konseptual, intelektual maupun secara praktek. Dalam dunia perkuliahan mahasiswa pun mengalami suatu penentuan arah untuk memutuskan tujuan nantinya.

            Dalam masa transisi dari SMA ke bangku kuliah, diperlukan adanya proses pengenalan yang akan memberikan pemberitahuan mengenai dunia kampus. Sehingga proses pengenalan itu dapat berguna sebagai penunjuk. Maka Program Pengenalan Studi dan Almamater (PROPESA) di lihat sangat penting sebagai suatu pembukaan bagi mahasiswa baru dalam memasuki lingkungan kampus.

            Kegiatan Propesa ini diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM-FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2010-2011 pada hari sabtu dan minggu, 2 - 3 Oktober 2010. Kegiatan Propesa ini ditujukan untuk seluruh mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2010 - 2011 yang berjumlah empat ratus mahasiswa/i. (FRM)

Sabtu, 04 Desember 2010

UIN Jakarta Sediakan 66 Formasi CPNS Baru

Ruang Sidang Utama, UIN Online – UIN Jakarta menyediakan sedikitnya 66 formasi dalam penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk tahun anggaran 2010. Formasi itu meliputi 52 orang untuk tenaga dosen dan 14 orang sisanya tenaga administratif.
Dalam rapat panitia penentuan penerimaan CPNS di Ruang Sidang Utama Gedung Rektorat, Jumat (22/10), Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian (BAUK) Drs Abd Shomad MA menyatakan formasi tersebut terbuka untuk seluruh warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan, baik sarjana lulusan S-1 maupun S-2. “Meski formasi tahun ini banyak disediakan bagi pelamar lulusan bidang keilmuan umum dan dengan rata-rata satu formasi, namun kita berharap semua formasi itu dapat terpenuhi sesuai yang diharapkan,” ujarnya.
Menurut dia, tahun lalu jumlah tenaga dosen yang dibutuhkan masih banyak yang belum memenuhi harapan. Apa yang diusulkan berbeda dengan kenyataan karena keputusan final berada di Kementeran Agama. “Mudah-mudahan tahun ini tidak meskipun jumlahnya sedikit,” imbuhnya.
Dalam penerimaan CPNS 2010, calon pelamar wajib memenuhi persyaratan sesuai ketentuan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Syarat-syarat calon di antaranya lulusan S-2 bagi pelamar tenaga dosen dan lulusan S-1 untuk pelamar tenaga administratif. Selain itu, usia pelamar serendah-rendahnya 18 tahun dan setinggi-tingginya 35 tahun pada tanggal 1 Januari 2011. Sementara bagi pelamar yang berusia lebih dari 35 hingga 40 tahun, wajib melampirkan bukti wiyata bakti dengan masa tugas 13 tahun sembilan bulan secara terus menerus, baik pada instansi pemerintah maupun swasta atau yayasan yang berbadan hukum.
“Pendaftaran dilakukan secara online melalui alamat www.kemenag.go.id dengan subdomain cpns.kemenag.go.id. Sementara berkas lamaran dikirim via pos ke PO BOX 95 CPA 15400 paling lambat 3 Nopember 2010 stempel pos,” jelas Abd Shomad. Sedangkan masa penerimaan CPNS dibuka sejak 25 Oktober hingga 3 Nopember 2010.

65 Tahun Kementerian Luar Negeri: Ada Apa Dengan Politik Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia?

ditulis oleh Taufik Mulyadi
Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional Semester 7; Alumni International Youth Ledership Camp Sydney Australia 2008

Tanggal 19 Agustus 2010 lalu merupakan hari jadi Kementerian Luar Negeri yang ke 65. di usianya yang terus bertambah ini, tantangan bagi politik luar negeri dan diplomasi Indonesia juga senakin bertambah berat. Hal ini merupakan momentum penting bagi Kementerian Luar Negeri untuk mengevaluasi diri dan terus meningkatkan kinerjanya dalam memantapkan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia 2010 .

Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengkritisi kebijakan kebijakan yang selama ini teah diambil oleh kementerian luar negeri, termasuk mengkritisi sikap dan posisi indonesia terhadap isu isu internasional yang menyangkut kepentingan nasional republik indonesdia. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam menhukur kinerja suatu kementerian atau instansi pemerintah banyak sekali angel / Sudut pandang yang digunakan dalam dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu instansi. .Namun dalam hal ini penulis akan mencoba melihat dari sisi akademis secara lebih objektif dan mengacu pada fakta dan realita yang ada.

Ada beberapa hal yang ingin penulis kritisi, yaitu:

1. Politk luar negeri dan diplomasi Indonesia cenderung lebih reaktif , tidak bersifat preventif, hanya bersifat sporadis dan tidak melihat jauh kedepan (visioner). Beberapa kebijakan yang cenderung dinilai sangat reaktif adalah tentang cultural diplomacy.beberapa tahun belakangan ini banyak terjadi claim kebudayaan dari negara negara tetangga yang memasukkan kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari national image mereka.

Dengan serta merta sejak saat itu Kementerian Luar Negeri barulah gencar melakukan cultural diplomacy di perwakilan RI di seluruh dunia sebagai bagian dari fungsi perwakilan yaitu promoting( melakukan promosi). Selain itu, kebijakan untuk mematenkan beberapa kebudayaan indonesia ke UNESCO ( seperti batik yang sudah dipatenkan d UNESCO) juga dianggap sebagai kebijakan yang sangat reaktif. Memang bahwa kebudayaan tidak hanya harus dipatenkan , tapi juga harus dilestarikan oleh warganya sendiri. Namun kebijakan kebijkan Kemlu diatas rupanya dianggap kurang sejalan dengan prinsip poltik luar negeri indonesia yang bebas aktif , bukan reaktif atau  sporadis

2. Takeline dari Menteri Luar Negeri yaitu Millions Of Friends And Zero Enemy mengindikasikan bahwa selama ini memang Polugri bersifat pragmatis, selalu cari aman dan tidak mau ambil resiko. Sebagai bangsa besar& sesuai dengan visi Polugri seperti yang diamnatkan Presiden RI bahwa Indonesia harus menjadi negara yang disegani didunia. Dalam hal ini, mau tidak mau Indonesia harus mengimplementasikan Polugri yang tegas, lugas, dan harus berani mengambil resiko.

Beberapa contoh kasus lagi lagi dengan negeri tetangga. Kasus Ambalat yang sudah berulang kali terjadi, penyiksaan TKI, dan terakhir adalah tentang penangkapan petugas Departemen Kelautan dan Perikanan oleh tetntara diraja malaysia. Dari beberapa kasusu diatas, banyak pihak ( dari Komisi I DPR, LSM dan akademisi , pers serta mahasiswa) yang merasa geram dan menyayangkan sikap pemerintah (khsusunya Kemlu) yang dianggap tidak tegas dalam menghadapi kasus kasus tersebut. Kasus lain yang menimbulkan kontroversi adalah posisi Indonesia sebagai non permanent member di Dewan Kemanan PBB yang mengambil posisi abstain dalam resolusi nuklir Iran, sehingga menyebabakan DPR melakukan hak interpelasi.

Meski Indonesia tidak menggunakan hardpower dalam Polugri nya, namun seharusnya indonesia mempunyai sikap tegas dan konkret, tidak ambigu dan klise yang penuh dengan pertimbangan dalam membawa kepentingan nasional nya dalam pergaulan internasional.

3.Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) tahun 2009 melaporkan bahwa Kementerian Luar Negeri merupakan salah satu Kementerian yang dinilai tidak efisisen dan akuntabel dalam penggunaan anggrannya. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus korupsi tiket perjalan dinas Diplomat ke Luar negeri yang diklaim merugikan negara +- 5 mulyar. Dan yang paling memeprihatinkan adalah kasus ini juga melibatakan petinggi Kementerian Luar Negeri yaitu Sekjen Kemlu saat itu. Selain itu juga terjadi korupsi di beberapa KBRI seperti korupsi renovasi KBRI Singapura dan KBRI Bangkok, Thailand. Hal diatas menjadi tantangan berat bagi Menlu Marty untuk terus melakukan proses “Benah Diri “ seperti yang telah dicanangkan oleh pendahulunya Dr. Hassan Wirajuda.

4.Redefinisi politik luar negeri bebas aktif indonesia. Selama ini in donesia memang cukup aktif dalam pelaksanaan Polugri nya, seperti selalu aktif dalam forum forum dan organisasi organisasi internasional. Namun indonesia juga mengkalkulasi kembali cost and benefit dari keikusertaan nya dalam Organisai Internasional. Hampir semua oganisasi internasional diikuti indonesia dan tentu itu membutuhkanCost yang cukup besar, sehingga indonesia harus mendapatkan benefit yang setara dalam keikutsertaannya tersebut. Karena faktanya, indonesia terkesan hanya aktif ikut dalam OI, tanpa mampu mengambil benefit yang maksimal bagi kepentingan nasional Indonesia

5.membumikan diplomat indonesia ( down to earth) . Hal-hal diatas perrnah saya sampaikan kepada salah satu pejabat esselon II Kemlu d sebuah seminar, namun sayangnya semua hal diatas ditampik, (bahkan penulis dianggap menjelek-jelekkan bangsa sendiri) .Ironis memang, tetapi bukannya penulis tidak mengapresiasi prestasi anak bangsa sendiri, tetapi satu hal yang menjadi kunci suskes sebuah bangsa adalah mau melakukan otokritik( kritik terhadap diri sendiri). Karena faktanya , kehidupan diplomat yang lama tinggal di luar negeri membuatnya sulit untuk mendapat sorotan dari pers ataupun civil society(Akademisi, LSM & mahasiswa)

Selain itu, adigium yang melekat pada diri sorang diplomat dengan 3L yaituAlkohoL, ProtokoL dan KolestroL serta kehidupan glamour dan mewah di luar negeri dengan imunitas / kekebalan diplomatik serta berbagai fasilitas dan keistimewaan diplomatik ( Diplomatic Privillages, facilities and immunities)plus penghasilan yang mencapai ribuan dollar Amerika per bulan ( jauh melebihi gaji PNS di departemen lain) sedikit banyak telah membuat para diplomat sulit untuk merasakan kondidi real masyarakat (grass root) di dalam negerinya sendiri. Sebagai contoh kasus yang palin sering kita temui, bahwa beberapa perwakilan kita di negara negara penerima TKI cenderung kurang aktif dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada para TKI kita di Luar Negeri.

Padahal mereka adalah para pahlawan Devisa yang harus dilindungi dan dilayani dengan baik. Bagaimanapun juga status seorang diplomat adalah sebagai PNS dan abdi negara yang gaji nya dibiayai rakyat, sehingga totalitas seorang diplomat harus sepenuhnya diabdikan pada bangsa dan negara.

Dari semua yang sudah dipaparkan diatas merupakan Pekerjaan rumah yang cukup berat bagi Menlu Marty Natalegawa untuk terus meningkatkan dan memantapkan Politik Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia 2010. Dan d usianya yang ke 65 ini merupakan momentum yang tepat sesuai dengan semangat reformasi dan demokratisasi Indonesia yang mengacu pada Good Governance dan Clean Government.

Kedepan , seiring dengan semakin dinamis dan kompleks nya tantangan global, maka diharapkan partsispasi aktif seluruh elemen bangsa termasuk akademisi , pers, dan mahasiswa untuk terus mengawal dan  mengkritisi posisi dan kebijakan indonesia serta politik luar negeri dan diplomasi berdasarkan kepentingan nasional Indonesia.

"Salahkan Pemuda Itu"

Ditulis oleh Irdia Bushori (Mahasiswa Ilmu Politik semester 9) 

Dalam orasi ilmiah mengenai "Peran Pemuda dalam Pembangunan Bangsa" yang diselenggarakan oleh salah satu BEM Jurusan di Jakarta. yang turut di hadiri oleh praktisi, pemerhati, teoritisi serta pengamat dalam berbagai disiplin ilmu


persiapan acara yang terpola serta tertata dengan rapi, semua berjalan lancar sesuai jadwal. setingan tempat, pembicara, deadline waktu, konsumsi serta berbagai hal yang berhubungan dengan keberlangsungan diskusi ilmiah tersebut.


Maka orasipun dimulai 

"Pemuda merupakan tulang punggung Bangsa di kemudian hari, karena di pundaknyalah maju dan mundurnya umat dan bangsa ini dipertaruhkan, maka sudah selayaknya pemuda di berikan ruang serta akses seluas-luasnya untuk mengeksplorasi potensi-potensinya dengan segmentasi yang optimal dan terarah" (tukas salah satu pembicara)


("Ya betul saya sepakat") Tanggap pembicara yang lain" jaminan pendidikan berupa beasiswa, program pendidikan formal dan non-formal serta elemen-elemen terkait seperti infrastruktur, media pendidikan yang baik, akses informasi dan pemerataan kualitas pendidik yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi justifikasi konstitusional bagi tiap pemuda untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya dan Negara lewat perangkat-perangkatnya (Pemerintah Pusat dan Daerah) memiliki kewajiban dalam hal itu dan ketika tidak di jalankan maka pemerintah telah mengkhianati amanat konstitusi" (tegas pembicara ini, sambil menatap penuh emosi yang tertahan)


di tengah pemaparan yang serius dan tak jarang berapi-api, pembicara yang lain di persilahkan oleh panelis untuk memeberikan pemaparannya..sambil menarik nafas panjang... kemudian ia lepaskan perlahan.. ("terimakasih") dan memang hanya itu ungkapan yang keluar dari bibirnya..sontak para peserta orasi ilmiah mengernyitkan dahinya..sang panelispun kembali mempersilahkan pembicara yang satu ini untuk memaparkan ide serta gagasannya, dan ia pun kembali melakukan hal yang serupa..


("ah ni pembicara ga serius nih") kesal salah satu peserta orasi ilmiah (bukankah dia sosok pemerhati yang sangat vokal dan kritis saat berbicara fenomena sosial?. dia juga kan alumni terbaik dari universitas luar negeri. riwayat pendidikan dan organisasinyapun tak perlu lagi di pertanyakan, huff... padahal dia yang membuat saya rela ga' kuliah padahal di kampus lagi UTS) "peluh seorang peserta asal depok kepada teman sebelahnya dengan kecewa".. 


sang panelispun terdiam karena ulah sang pembicara..dan ketika sang panelis akan mempersilahkan sang pembicara yang lain untuk memaparkan ide serta gagasannya..



pembicara yang membuat peserta bertanya-tanya pun angkat bicara ('maaf sebelumnya kepada para perwakilan BEM Se Jabodetabek" saya sudah hampir 20 tahun memberikan pemaparan tentang ide serta gagasan mengenai pemuda, kepemudaan dan hal-hal yang terkait dengan pembahasan tentang pemuda, sudah sangat banyak bahkan tak terhitung rasanya, dari mulai pembekalan dalam loka karya,orasi ilmiah, workshop pemuda&kepemimpinan, seminar nasional, diskusi ilmiah, dialog publik bahkan sampai debat yang tak berkesudahan, saya lakoni dengan 1 keyakinan bahwa pasti ada hasil yang mampu di petik. satu, dua atau bahkan 10 sampai 20 pemuda pastinya memahami apa yang saya paparkan pada agenda-agenda yang telah mereka percayakan. saya sebagai narasumbernya)


(tarikan nafas panjang saya mengisyaratkan betapa sulitnya bangsa ini berkembang bahkan mampu bersaing dengan bangsa lain jika instrumen-instrumen pokoknya seperti Pemerintah Pusat dan Daerah lewat dinas terkait tidak memahami atau bahkan menutup mata akan pentingnya pendidikan dan peran pemuda dalam pola pembangunan, baik dalam skala mikro ataupun makro, karena sejatinya fenomena sosial yang terjadi dalam realitas bermasyarakat kita hari ini tak lepas hanya pada kewajiban Negara, kenapa..? karena setiap individu kita pun memiliki andil serta tanggung jawab moril bagi terciptanya iklim yang diharapkan terkait arah bangsa ini kedepan. LSM, ORMAS, OKP, Partai Politik dan unsur-unsur civil society yang lain pun memiliki kewajiban yang sama, karena fungsi dan peran civil society selain sebagai social control juga memiliki fungsi sebagai agregator&problem solver atas berbagai problematika sosial yang melingkupi masyarakat kita hari ini.. atas dasar itulah keluhan-keluhan serta pekikan akan tangis kelaparan dan buta huruf mampu terselesaikan, hanya kepedulian sosial yang kuat dan mendasar atas niat baik serta tulus dengan hanya megharap kebaikan-Nya lah yang mampu menghapus berbagai keterpurukan yang ada pada tiap sudut penjuru negeri ini.. hanya atas prinsip untuk selalu berusaha menjadi yang paling bermanfaat untuk yang lainlah kita mampu menjalin solidaritas sosial akan identitas kebangsaan.


(Maaf sekali lagi para peserta, saya hanya ingin berbagi pengalaman saja, semua pada akhirnya kembali kepada diri kita masing-masing, sudah banyak contoh pemuda yang berlatar belakang kondisi ekonomi menengah kebawah tapi mampu meraih cita serta harapannya, mungkin saya salah satunya, semua pasti ada jalannya saat semangat besar berpadu dengan keyakinan dan usaha yang kuat untuk mencapainya, negara hanya fasilitator atau pemanis saja, "wong kita ga butuh negara ko (pemerintah Pusat dan Daerah)


kalimat akhir sang pembicara ini kembali membuat tanda tanya, kontroversi serta multi interpretatif.. (maaf) sela sang panelis "Maksudnya negara hanya fasilitator dan kita ga butuh negara (pemerintah pusat dan daerah) apa ya?


Jawabannya singkat saja, tegas sang pembicara ini "NEGARA (Pemerintah Pusat/Daerah) Ada Karena ada Rakyat"


sontak bergemuruh aula tempat orasi ilmiah tersebut.. sambut-menyambut tepuk tangan tak henti layaknya sambutan kicauan burung menanti terbitnya sang fajar.


"huff.. memang bapak yang satu ini selalu membuat kita terus berdialektika untuk melanjutkan ungkapannya agar di jadikan bahan diskusi"... (tersenyum sambil menggelengkan kepala salah seorang peserta yang selalu hadir saat sang pembicara ini menjadi narasumber). Keep Respect For Another